Anak itu sangat misterius.
Dan sebagai seorang sekretaris kelas, aku sangat tidak menyukainya.
Dia itu aneh bahkan saat sudah lebih dari sebulan aku mengenalnya. Pendiam, selalu menyendiri dan tertutup. Di antara keramaian, dia tidaklah terganggu akan suara bising yang seharusnya menjadi penghalang baginya dalam kesendirian.
Bahkan setelah pulang, kami tidak pernah mendengar seutas kata sapaan atau apapun yang akan membuatnya terlihat sopan. Dia sangat tidak sopan. Kami membencinya. Namun tampaknya, dia sama sekali tak keberatan akan masalah itu.
Hingga suatu sore, saat aku pulang tanpa Alera, sahabatku, aku melihatnya berjalan di jalanan sunyi dan masuk ke dalam kegelapan. Dia sama sekali tak merasa ragu dan berjalan dengan mantap. Dengan penuh kesadaran, akupun mengikutinya.
"Miaw!"
"Ah!" Seekor kucing hitam menghadang di tengah jalan. Mata birunya berkilau di antara kegelapan.
"Kucing hitam payah! Kau menakutiku!"
Selanjutnya, aku berhenti. Aku berpikir, mungkin urusan apapun yang gadis aneh itu lakukan, bukanlah sesuatu yang seharusnya benar-benar aku ketahui. Pilihanku sekarang hanyalah pergi dan mengintrogasinya di esok hari.
Saat malam tiba, aku termenung di antara tumpukan buku-buku pelajaran yang masih dingin, belum sempat kusentuh. Sukar rasanya untuk belajar, bahkan saat kutahu bahwa mungkin terjadi sesuatu pada gadis aneh itu. Namun, ini bukanlah rasa gundah setelah aku tidak mengabsennya tadi pagi. Lagipula, ini adalah kesepakatan kelas di mana ia akan dikeluarkan apabila absen tanpa keterangan. Dan mungkin, kami akan melakukan hal yang lebih buruk lagi sebab kami tidak ingin menyimpan dan berteman dengan seonggok parasit.
Aku memanglah anak teladan yang ditunjuk guru untuk menjadi sekretaris kelas. Dan alasan aku menyetujui perbuatan buruk ini adalah karena aku besar di lingkungan yang menganut sistem demikian. Ayah selalu mendidikku untuk menciptakan keseragaman di sekitar hidupku, hal yang berbeda hanyalah parasit. Mereka yang dianggap unik, juga hanyalah parasit yang berlindung dibalik kata prestasi.
"Haahh, lebih baik aku tidur, mengintrogasi dirinya hanya akan menghabiskan banyak tenaga."
"Evelyn, kau harus melakukannya." Lanjutku sebelum menutup semua cahaya dan menggantinya dengan banyak kegelapan.
Esok harinya, aku datang lebih awal. Mengawasi setiap sudut untuk mencari gadis itu.
"Violet, aku tahu kau ada di dalam, di antara rak buku sekalipun, keluarlah sekarang sebelum aku yang menangkapmu."
"Ya, ada apa?"
Dia datang seperti kabut. Aku tidak terlalu terkejut karena memang itulah kebiasaannya.
"Apa yang kau lakukan di gang sempit itu semalam? Dan kucing hitam yang sepertinya menjagamu, apa kau penyihir? Atau ... kau punya rahasia besar di sana?"
"Aku tidak melakukan semua yang kau katakan, Evelyn. Tapi, ada sesuatu yang seharusnya memang tidak kau ketahui. Sudah itu saja."
"Apa maksudmu? Cepat katakan padaku!" Aku mencengkram kerahnya. Dan dia mengikuti, dengan eskpresi yang setenang lautan.
"Tidak ada apapun. Dan kumohon jangan ganggu aku lagi."
Dia menepis tanganku. Terlalu keras, aku memberi pertahanan selayaknya seseorang yang terkejut atas kekuatan besar dari orang yang tak terduga.
"Ah! Sialan!"
Aku pergi, meninggalkannya dalam penuh rasa kekesalan di hatiku. Dia terlalu keras kepala. Meski aku memang tidak berniat membantunya, kurasa tidak ada salahnya untuk bercerita. Aku sekretaris kelas!
Kejadian tersebut membuatku tidak bicara dengannya selama beberapa hari. Sebaliknya, aku selalu menatapnya sinis selayaknya musuh, pembuliyan dengan intensitas yang semakin kami tujukan padanya.
Bagiku, ini bukanlah kejahatan. Satu lagi yang ayahku ajarkan, kau hanya boleh berbuat baik kepada orang yang baik, dan kau boleh berbuat jahat kepada orang yang jahat.
Dan karena nasihat itulah, aku tumbuh menjadi gadis kuat seperti sekarang.
"Gadis aneh tidak boleh pulang hari ini."
Aku mengunci pintunya.
......
"Evelyn, kau melakukan hal besar hari ini. Yakin tidak masalah?" Alera bertanya.
"Ya! Lagipula dialah yang seharusnya disalahkan."
"Tapi, kurasa ... itu salah."
"Hmm?" Kami berhenti tepat di tikungan jalan.
"Kau tahu, sesuatu yang berbeda tidak seharusnya dibuang begitu saja. Kau, tidak boleh mengucilkannya apalagi membullynya, itu salah."
"Kau mulai mempertanyakan idealismeku?"
"Tidak! Kau salah paham, aku tidak bermaksud."
"Pergi dari sini."
"Tapi---"
"Pergi!"
Kini, aku sendirian. Alera pergi bersama ... entahlah apa yang dia rasakan, aku tak peduli.
"Keparat."
Aku melanjutkan perjalanan pulang. Sedikit rasa bersalah hinggap sebentar, sebelum aku menepisnya. Aku tidak salah, karena aku melakukan apa yang ayahku ajarkan. Dan semua orang tahu, bahwa ayahku tak pernah salah.
....
"Apa yang kalian coba katakan? Rahasia? Tentang gadis aneh itu?"
Aku tiba di tempat ini. Sebuah ruang gelap yang kemarin gadis aneh itu kunjungi. Mencoba mencari tahu segala kemungkinan yang masih tersembunyi. Tanpa Alera, aku sendirian di sini, hingga beberapa pria datang dan menebak maksud juga tujuanku dengan sangat tepat. Cara yang unik untuk menarik lebih jauh rasa penasaranku.
"Ya gadis manis, tetapi sebelumnya kami punya syarat."
Aku tidak perlu menunjukkan jelas ekspresiku saat dalam kabut penasaran, tapi kurasa mereka mengerti.
"Hal itu ...."
Cengkraman kuat di sekeliling tanganku. Mereka melakukannya secara tiba-tiba, ada apa?
"Kami akan melakukan hal yang menyenangkan."
Mereka secara acak membentuk lingkaran, mengerubungiku di tengah-tengah bulatan. Aku mengecil di antara tubuh-tubuh mereka yang besar. Sirine bahaya menyala di otakku.
"Akh!"
Sebanyak apapun aku berusaha untuk melepaskan diri, mereka lebih dulu membangun benteng yang mustahil untuk kutembus. Senyumannya, senyuman menjijikkan terpampang di wajah jelek mereka.
"Lepaskan aku!" Aku berteriak, meronta dan hampir menangis. Mereka sungguh licik. Hingga tanpa sengaja, aku menjatuhkan setetes air mata.
"Maafkan aku ... Violet."
Di tengah keputusasaaan yang menggerogoti keberanianku secara perlahan. Aku tak menyangka bahwa aku akan mengatakan hal demikian. Aku hanya memikirkan Violet. Dan dengan adanya permintaan maaf itu, kurasa ... aku kalah.
Plang!
Tubuh-tubuh besar itu melihat ke sumber suara, yang kemudian aku turut mengikutinya.
Di sana, seorang gadis dengan bayangan hitam gelap berdiri tegap. Lengan kirinya yang berbalut besi dipukulkan ke tiang listrik di samping. Bunyinya berdenting.
"Sudah kukatakan untuk tidak mengganggu teman-temanku. Apa kalian tuli?"
Dia mulai berlari, menargetkan salah satu kepala pria-pria itu dan memukulkan besi sekencang-kencangnya. Pria itu jatuh. Kepalanya mengukur darah segar dan bau amis pun menguar.
"Lari!"
Dalam sepersekian detik, tempat ini hanya diisi oleh keberadaan dua orang. Violet dan diriku sendiri, juga mungkin jasad yang tidak lagi bernyawa.
"Bagaimana jika kau membunuhnya? Tidakkah itu berbahaya?"
"Tidak apa, lagipula, dia buronan. Kita bisa katakan bahwa aksi ini hanyalah pembelaan diri. Dia ingin melakukan hal jahat kepadamu dan tidak mungkin dia akan dimaafkan."
Ini pertama kalinya dia bicara panjang lebar. Dengan tangan hangat yang mengulurkan bantuan, aku menyambutnya dan berdiri tertatih.
"Terima ... kasih. Aku akan mati jika kau tak datang"
"Sudahlah. Ngomong-ngomong apa kau yang mengunciku? Kunci cadanganmu tertinggal di meja. Aku membawanya agar kelas bisa dibuka besok pagi."
"Apa? Benarkah? Kupikir aku sudah ... ah! Maaf. Aku hanya ...."
"Ya, tidak apa-apa. Aku mengerti."
Aku memandangnya teduh. Apa benar dia sebaik ini? Bagaimana jika pria-pria tadi adalah .... Ah! Tidak mungkin.
"Maaf telah berburuk sangka kepadamu."
"Emm. Jangan pedulikan masalah itu. Apa kau terluka?" Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Syukurlah. Aku khawatir karena mereka adalah bajingan-bajingan kota. Aku selalu mengawasinya agar dia tidak menyerang murid-murid sekolah saat pulang. Dan tentang kucing hitam ... dia adalah temanku."
"Ah ya ... kurasa aku yang salah menganggap semua tingkahmu. Apa kau memaafkanku?"
"Tentu. Tapi sebelum itu, ayo keluar dari sini dan segera melapor ke polisi. Akan jadi masalah jika ambulans tidak segara dibawa ke sini."
"Kau benar."
Kami berjalan keluar dari gang. Dia mengambil tasku yang jelas lebih berat dari tasnya. Meninggalkan sebentar pria tadi, dan semoga dia tidak berubah menjadi mayat sebelum polisi datang dan mengamankannya.
Di antara sinar-sinar yang tidak mampu menembus dinding-dinding lembab dan basah, cahaya bergerak temaram saat kami semakin mendekati jalan raya, aku bisa merasakan rasa hangat dari genggaman tangannya. Ternyata ... dia jauh berbeda dari yang selama ini aku pikirkan.
"Apa aku benar-benar butuh waktu yang sangat lama untuk sekedar menyadarinya?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Violet memandangku aneh, kurasa itu reaksi yang wajar untuk sesuatu yang dia dengar tiba-tiba.
"Jangan dipikirkan."
"Kau mengerti?"
"Bukankah sudah sangat jelas? Dan ngomong-ngomong aku punya sedikit saran, mau dengar?"
Kami sampai di ujung gang, keramaian tampak lebih jelas di sekitar sini. Juga matahari yang sepertinya tidak punya banyak waktu lagi untuk tiba di garis horizon Bumi. Tapi tunggu, aku hampir lupa, sedikit saran katanya?
Aku bisa menerawang tatapan tajam di balik poninya yang panjang, melalui bola mata hitam yang terlihat semakin jelas saat tiba-tiba angin menerbangkan helaian rambutnya yang menjuntai di bagian depan. Dia tersenyum kecil, sangat kecil hingga samar-samar telihat seringaian misterius.
Semuanya baik-baik saja sebelum dia memulai kalimatnya. Sebuah fakta yang sangat tidak ingin aku dengar muncul begitu jelas dari mulutnya. Sebuah fakta yang seharusnya aku terima sejak lama. Tapi ilusi di mataku telah memakan kebenaran hingga aku tak lagi mampu untuk bangun dari asumsi menyenangkan yang aku buat di alam bawah sadar. Terima kasih karena bisa menarikku dari ilusi itu, Violeta.
"Kau adalah gadis yang egois. Orang-orang tidak akan menyukainya. Cobalah untuk menghargai sedikit perbedaan, karena menjadi 'sama' tidak selalu jadi lebih baik."
Bagaimana rasanya menjadi egois?
BalasHapusRasanya enak, egois itu tak terlalu buruk kalau untuk mempertahankan prinsip kita.
Hapus