Aku mengamati bagaimana bintang sesekali berkedip di malam ini, dengan langkah sedikit terburu-buru aku berusaha mengatur napas, di tengah kondisi sekitar yang membuat bulu kudukku berdiri, angin tiba-tiba datang dari belakang dan memaksaku untuk segera berhenti. Melirik ke lorong gelap yang baru saja aku lewati.
Jalanan dengan lampu redup dan masing-masing tiangnya harus terpisah jarak seratus meter antara satu sama lain. Kabel-kabel panjang yang menggantung di atas sana, bergerak pelan dan gesekan satu sama lain yang menimbulkan ilusi bisikan malam.
Situasi ini sedikit berbeda dari biasanya.
"Apa ada orang di sana?!" Sengaja aku berteriak demi menurunkan sedikit rasa takut.
Dan ... Tidak ada jawaban.
"Huffttt ... mungkin kucing atau semacamnya," meski butuh lebih dari lima detik bagiku kembali tenang, setidaknya aku tidak ragu untuk melanjutkan perjalanan.
Sejenak berpikir, beberapa masalah mungkin bisa mengalihkan rasa khawatirku untuk sementara. Aku segera menyalakan ponsel, dan itu adalah detik-detik sebelum mataku terbelalak karena kaget.
"Tidak mungkin! Hanya sepuluh menit sebelum tengah malam?! Selama itukah aku di tempat karaoke?! Oh tidak, Ibu pasti marah."
Untuk kesekian kalinya, rasa khawatir kembali datang. Kepanikan bertambah saat aku sadar bahwa butuh minimal dua puluh menit untukku sampai di rumah. Ini bahkan lebih buruk daripada gempa bumi, pikirku seraya melirik ke bawah.
"Gawat, matilah aku,"
Selama satu menit, keluhan tak kunjung berhenti aku lontarkan. Tak jarang juga menciptakan banyak spekulasi kejadian saat aku tiba di tempat tujuan. Melihat bayangan ibu yang tengah menjaga kesabaran, pasti akan menjadi hal lucu untuk dikenang.
Tapi, tunggu sebentar.
Tap tap tap
Imajinasi indah itu terpaksa berhenti sebentar, digantikan oleh waktu yang aku gunakan untuk lebih jelas mendengar, di mana terdepat langkah tenang yang otomatis yang membuat badanku gemetar. Perlahan aku menoleh ke belakang.
Sayup-sayup terdengar gemerincing lonceng dari kejauhan, disertai bayangan tegak seorang pria tegap yang berdiri di ujung jalan. Ia bergerak sempoyongan, ini mengerikan.
Siluet hitamnya mulai mengangkat benda tajam dengan ciri khas bandul merah berkilau, bunyi yang ditimbulkan sama seperti tadi. Gemerincing lonceng yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
Aku hanya bisa menahan rasa takut di antara guncangan kuat yang menyuruhku berteriak, pria itu seolah bersiap ingin memangsa, otot kakinya yang tegap berpacu semakin cepat. Di detik ini, tidak ada yang aku pikirkan selain naluri untuk menyelamatkan diri.
Aku terus berlari menabrak banyak bebatuan kerikil tajam, tidak peduli meski sedang melewati turunan yang curam. Aku merasakan perih dan panas di kakiku, energiku juga hampir habis untuk berlari lagi. Namun, sosok ancaman di belakangku tak kunjung berhenti.
Perasaan panik dan takut bercampur menjadi satu, lalu meleleh dalam butiran air yang mengalir semakin deras dari mataku. Tidak ada lagi pikiran jernih, ditambah rasa sakit yang mendera di area bagian kaki.
Tapi untungnya, aku berhasil mengingat sesuatu yang membuat harapan kembali menyala, ada kantor polisi di sekitar sini. Aku berlari semakin cepat, tinggal satu belokan lagi sebelum tiba di sana, tapi saat menoleh ke belakang, aku tidak lagi berhasil melihat eksistansi pria tadi.
Dimana dia?
Hanya pertanyaan itu yang bersarang di benakku bahkan sesaat setelah sampai di pos penjagaan. Belum sempat sistem darahku mengalir sempurna, ditambah kondisi napas yang masih tersendat, rasa gelisah kembali datang setelah aku dapati bahwa tempat ini kosong tanpa penghuni.
Tapi untunglah sebab tak lama setelahnya, aku berhasil menangkap siluet yang tengah berlari dari kejauhan, ia semakin dekat lalu berhenti tepat di depanku. Tak lupa memberi senyuman penenang seolah ingin sedikit menghiburku. Ya, sejenak aku berpikir, jika akhirnya mimpi buruk ini akan selesai.
Namun, mataku berhasil menangkap detail kecil darinya. Entah mengapa, pria berseragam itu menghirup kembali udara yang telah ia buang secara terburu-buru. Ia juga melepas jaket hitamnya. Keringat mengucur deras seolah ia baru saja dikejar sesuatu, pasti penuh perjuangan untuknya sampai di sini tepat waktu.
Ya ... sama persis seperti aku.
***
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya dikejar penguntit pada malam hari! Untung saja otakku cukup cerdas. Jika tidak, mungkin aku sudah menjadi mayat saat ini!" Meski dengan mata bengkak dan suara parau, akhirnya aku berhasil menceritakan pengalaman buruk tadi malam.
"Aku turut sedih untukmu, tapi ... bukankah lebih baik jika kau istirahat di rumah? Kejadian ini bisa merusak psikologismu ...." salah satu temanku menunjukkan perhatiannya.
Harus diakui, kekhawatiran Freya itu benar adanya. Bahkan, saat ini aku merasa tidak baik-baik saja. Namun, sayang sekali orang terdekatku tidak melakukan hal yang sama, itulah alasan aku tetap bersekolah seperti biasa.
"Ya, beruntung ada polisi sigap yang menyelamatkanku malam itu. Sangat berbeda dengan ibu yang malah memarahiku karena pulang terlambat." Lagi-lagi aku membela, masih bersyukur karena ada petugas yang baik dan jujur di luar sana.
"Tapi, apa kau yakin? Bisa saja 'kan dia bermuka dua?"
Tunggu, apa maksudnya?
"Benar! Kemarin aku melihat jika mereka tidaklah selalu taat aturan, maksudku ... bermain ponsel saat ditugaskan menjaga arus lalu lintas, itu jelas dilarang bukan?"
"Sungguh?! Ternyata bukan aku saja yang melihatnya,"
Celaan keluar mulus dari ketiga lawan bicaraku. Tentu saja ucapan mereka telah menyulut kekesalan dalam hatiku.
"Itu tidak sepenuhnya salah, siapa tahu mereka tengah mendapat panggilan misi," satu sanggahan ini mungkin bisa membungkan mereka.
"Sayangnya bukan hanya itu, pernah suatu ketika saat kendaraanku hilang dan kami melapor ke aparat, kalian tau apa yang mereka lakukan? Tidak ada, bahkan setelah menunggu satu bulan penuh. Sejak itu kami tahu jika mereka tidak pernah menanggapinya dengan serius."
Ternyata tidak.
Mereka tetap keras kepala.
"Hey, mungkin kau tidak tahu, tapi mereka punya cara kerja masing-masing. Misalnya untuk kasus ini, mereka tidak akan langsung mengajukan proses investigasi, tapi menunggu. Menunggu yang kumaksud adalah dengan mengadakan razia. Saat menjaring para pengendara, mereka akan memeriksanya satu persatu, dan ketika berhasil menemukan kejanggalan seperti kurangnya kelengkapan surat-surat, barulah mereka akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." Ucapku panjang lebar disertai alasan yang sangat masuk akal. Penjelasan ini pasti akan membuat mereka kehabisan kata-kata.
"Itulah masalahnya, kau terlalu naif Lily,"
Eh? Apa yang mereka katakan?
"Banyak polisi malah mengambil jalan damai yang pastinya tidak akan merugikan dirinya sendiri maupun pengendara. Kau tahu prinsip uang tebusan 'kan? Banyak dari mereka melakukannya diam-diam."
Aku tidak bisa menghindar saat kalimat itu menusuk tepat di tengah-tengah keyakinanku.
"Setidaknya mereka jauh lebih baik daripada penjahat." Aku berhasil menyanggah kalimat mereka dengan sebuah fakta yang tidak bisa dibantah.
"Namun kenyataannya, penjahat tidak seburuk yang kau kira. Pernah dengar pepatah yang mengatakan, jika orang jahat terlahir dari orang baik yang dipaksa oleh kerasnya kehidupan. Misalnya, saat ia tidak punya uang untuk menghidupi keluarganya, kehidupan memaksanya untuk menjadi pencuri. Kita tidak boleh melihat mereka hanya dari satu sisi. Karena, manusia itu sendiri ... sebenarnya penuh dengan misteri." Salah satu temanku Kei, mengutarakan pendapatnya dari meja belakang. Hipotesis itu cukup masuk akal. Kepalaku tertunduk untuk merenungkan kata-katanya lebih dalam.
"Itu benar. Bukan berarti kami membela orang jahat, hanya saja ... kita tidak bisa melihat manusia hanya dari satu sisinya saja. Lily, aku tau polisi itu telah menyelamatkanmu, tapi kau tak bisa mengabaikan segala kemungkinan yang bisa terjadi." Freya memperjelas pemikirannya. Aku hanya bisa mengangguk lemah sebagai balasan.
"Dan lagi, meninggalkan satu detail kecil bisa menyebabkan masalah yang begitu besar. Aku harap kau mengerti apa yang aku katakan, Lily." Kei tersenyum aneh, lebih aneh dari biasanya, aku tak punya pilihan selain membalas senyum itu.
***
Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa dengan terampil mempengaruhi egoku sedikit demi sedikit. Bahkan ketika aku memutar kembali kaset memori saat di sekolah tadi, hanya tawa menyebalkan mereka yang aku dengar.
Seraya berjalan pulang, aku tak hentinya memikirkan kejadian kemarin malam. Meski tidak sampai memicu trauma, tapi aku bersumpah tidak akan pernah lagi melewati jalan ini sendirian saat malam. Namun, ikrar ini juga punya pengecualian, yaitu saat aku berjalan dengan seorang teman. Hehe, tidak masalah jika berdua.
Melirik sebentar ke atas, warna jingga merayap di langit, sebagai bukti bahwa hari semakin sore. Pancaran sinarnya membuatku ingat akan menu makan malam, pasti sangat enak jika Ibu memasak kari ayam. Sesaat aku merasa lapar untuk sensasinya.
"Andai saja aku tidak mengalami nasib sial itu, aku pasti akan pulang tengah malam lagi hari ini."
Aku melanjutkan perjalanan dengan sekedar bersiul ria atau melantunkan nyanyian kecil, kebiasaan yang sulit aku lupakan. Tepat sebelum laguku usai, seorang pria yang cukup familiar muncul di tangkapan mataku. Aku berlari, berniat menyapa singkat dan bertanya untuk suatu hal.
"Permisi pak, masih ingat saya?" terkesan tidak sopan, tapi itulah aku.
"Kau gadis yang kemarin 'kan? Ah, maaf jika ini sedikit menyinggungmu."
"Ah, tidak apa-apa," aku tertawa kikuk, sejenak menghapus prasangka buruk yang ditanam oleh teman-temanku. Walau ia tampak cukup mencurigakan tadinya, mungkin saja karena akulah yang kurang terbiasa.
"Bagaimana dengan proses penyelidikannya? Apa kau sudah tahu siapa pelakunya?" bukan bermaksud buru-buru, hanya saja aku tidak akan tenang hingga kasus ini selesai.
"Maaf nona, kami belum bisa menangkap tersangka. Minimnya bukti dan personil, membuat prosesnya sedikit terhambat."
Aku kecewa, jauh dalam hati menyalahkan kinerja aparat yang tidak konsisten, jika terus begini aku akan hidup dalam kurungan sikap waspada, keadaan yang membuatku sesak terperangkap.
"Haaa ... sudahlah. Aku akan berdo'a demi kalian."
"Terima kasih nona," sekali lagi polisi itu tersenyum.
Hatiku tergerak untuk membalas senyumannya, dan tidak butuh waktu lama bagiku melakukan hal serupa. Barulah setelahnya, aku beranjak pergi meninggalkan petugas itu yang kini menoleh seraya melambaikan tangan sebagai isyarat selamat tinggal, alternatifnya mungkin adalah hati-hati di jalan.
Tapi tunggu!
Aku melihat wilayah saku celananya, yang meski sudah berusaha disembunyikan sebaik mungkin, masih terdapat celah jika diperhatikan dengan teliti. Otomatis aku merasa terpojok, menahan rasa panik melalui wajah setenang air.
Mataku membelalak dengan kedua pupilnya yang melebar. Ada getaran kecil yang menyeruak ke seluruh tubuhku untuk meninggalkan tempat itu dengan segera. Mungkin, teman-temanku ada benarnya. Aku sadar, ternyata hipotesis mereka saat itu benar-benar masuk akal. Persepsi yang awalnya berisi kepercayaan penuh kepada sang polisi terasa ditarik kuat oleh kenyataan yang ada. Napasku tercekat saat melirik ulang objek tersebut.
Bukankah itu ....
Lonceng merah yang tergantung di pisau sang pelaku.
***