Dynfri.Elevenby

Selasa, 20 Februari 2024

Dua Topeng Dalam Satu Wajah

Dua Topeng Dalam Satu Wajah


Aku mengamati bagaimana bintang sesekali berkedip di malam ini, dengan langkah sedikit terburu-buru aku berusaha mengatur napas, di tengah kondisi sekitar yang membuat bulu kudukku berdiri, angin tiba-tiba datang dari belakang dan memaksaku untuk segera berhenti. Melirik ke lorong gelap yang baru saja aku lewati.

Jalanan dengan lampu redup dan masing-masing tiangnya harus terpisah jarak seratus meter antara satu sama lain. Kabel-kabel panjang yang menggantung di atas sana, bergerak pelan dan gesekan satu sama lain yang menimbulkan ilusi bisikan malam.

Situasi ini sedikit berbeda dari biasanya.

"Apa ada orang di sana?!" Sengaja aku berteriak demi menurunkan sedikit rasa takut.

Dan ... Tidak ada jawaban.

"Huffttt ... mungkin kucing atau semacamnya," meski butuh lebih dari lima detik bagiku kembali tenang, setidaknya aku tidak ragu untuk melanjutkan perjalanan.

Sejenak berpikir, beberapa masalah mungkin bisa mengalihkan rasa khawatirku untuk sementara. Aku segera menyalakan ponsel, dan itu adalah detik-detik sebelum mataku terbelalak karena kaget.

"Tidak mungkin! Hanya sepuluh menit sebelum tengah malam?! Selama itukah aku di tempat karaoke?! Oh tidak, Ibu pasti marah."

Untuk kesekian kalinya, rasa khawatir kembali datang. Kepanikan bertambah saat aku sadar bahwa butuh minimal dua puluh menit untukku sampai di rumah. Ini bahkan lebih buruk daripada gempa bumi, pikirku seraya melirik ke bawah.

"Gawat, matilah aku,"

Selama satu menit, keluhan tak kunjung berhenti aku lontarkan. Tak jarang juga menciptakan banyak spekulasi kejadian saat aku tiba di tempat tujuan. Melihat bayangan ibu yang tengah menjaga kesabaran, pasti akan menjadi hal lucu untuk dikenang.

Tapi, tunggu sebentar.

Tap tap tap

Imajinasi indah itu terpaksa berhenti sebentar, digantikan oleh waktu yang aku gunakan untuk lebih jelas mendengar, di mana terdepat langkah tenang yang otomatis yang membuat badanku gemetar. Perlahan aku menoleh ke belakang.

Sayup-sayup terdengar gemerincing lonceng dari kejauhan, disertai bayangan tegak seorang pria tegap yang berdiri di ujung jalan. Ia bergerak sempoyongan, ini mengerikan.

Siluet hitamnya mulai mengangkat benda tajam dengan ciri khas bandul merah berkilau, bunyi yang ditimbulkan sama seperti tadi. Gemerincing lonceng yang belum pernah aku dengar sebelumnya.

Aku hanya bisa menahan rasa takut di antara guncangan kuat yang menyuruhku berteriak, pria itu seolah bersiap ingin memangsa, otot kakinya yang tegap berpacu semakin cepat. Di detik ini, tidak ada yang aku pikirkan selain naluri untuk menyelamatkan diri.

Aku terus berlari menabrak banyak bebatuan kerikil tajam, tidak peduli meski sedang melewati turunan yang curam. Aku merasakan perih dan panas di kakiku, energiku juga hampir habis untuk berlari lagi. Namun, sosok ancaman di belakangku tak kunjung berhenti.

Perasaan panik dan takut bercampur menjadi satu, lalu meleleh dalam butiran air yang mengalir semakin deras dari mataku. Tidak ada lagi pikiran jernih, ditambah rasa sakit yang mendera di area bagian kaki.

Tapi untungnya, aku berhasil mengingat sesuatu yang membuat harapan kembali menyala, ada kantor polisi di sekitar sini. Aku berlari semakin cepat, tinggal satu belokan lagi sebelum tiba di sana, tapi saat menoleh ke belakang, aku tidak lagi berhasil melihat eksistansi pria tadi.

Dimana dia?

Hanya pertanyaan itu yang bersarang di benakku bahkan sesaat setelah sampai di pos penjagaan. Belum sempat sistem darahku mengalir sempurna, ditambah kondisi napas yang masih tersendat, rasa gelisah kembali datang setelah aku dapati bahwa tempat ini kosong tanpa penghuni.

Tapi untunglah sebab tak lama setelahnya, aku berhasil menangkap siluet yang tengah berlari dari kejauhan, ia semakin dekat lalu berhenti tepat di depanku. Tak lupa memberi senyuman penenang seolah ingin sedikit menghiburku. Ya, sejenak aku berpikir, jika akhirnya mimpi buruk ini akan selesai.

Namun, mataku berhasil menangkap detail kecil darinya. Entah mengapa, pria berseragam itu menghirup kembali udara yang telah ia buang secara terburu-buru. Ia juga melepas jaket hitamnya. Keringat mengucur deras seolah ia baru saja dikejar sesuatu, pasti penuh perjuangan untuknya sampai di sini tepat waktu.

Ya ... sama persis seperti aku.

***

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya dikejar penguntit pada malam hari! Untung saja otakku cukup cerdas. Jika tidak, mungkin aku sudah menjadi mayat saat ini!" Meski dengan mata bengkak dan suara parau, akhirnya aku berhasil menceritakan pengalaman buruk tadi malam.

"Aku turut sedih untukmu, tapi ... bukankah lebih baik jika kau istirahat di rumah? Kejadian ini bisa merusak psikologismu ...." salah satu temanku menunjukkan perhatiannya.

Harus diakui, kekhawatiran Freya itu benar adanya. Bahkan, saat ini aku merasa tidak baik-baik saja. Namun, sayang sekali orang terdekatku tidak melakukan hal yang sama, itulah alasan aku tetap bersekolah seperti biasa.

"Ya, beruntung ada polisi sigap yang menyelamatkanku malam itu. Sangat berbeda dengan ibu yang malah memarahiku karena pulang terlambat." Lagi-lagi aku membela, masih bersyukur karena ada petugas yang baik dan jujur di luar sana.

"Tapi, apa kau yakin? Bisa saja 'kan dia bermuka dua?"

Tunggu, apa maksudnya?

"Benar! Kemarin aku melihat jika mereka tidaklah selalu taat aturan, maksudku ... bermain ponsel saat ditugaskan menjaga arus lalu lintas, itu jelas dilarang bukan?"

"Sungguh?! Ternyata bukan aku saja yang melihatnya,"

Celaan keluar mulus dari ketiga lawan bicaraku. Tentu saja ucapan mereka telah menyulut kekesalan dalam hatiku.

"Itu tidak sepenuhnya salah, siapa tahu mereka tengah mendapat panggilan misi," satu sanggahan ini mungkin bisa membungkan mereka.

"Sayangnya bukan hanya itu, pernah suatu ketika saat kendaraanku hilang dan kami melapor ke aparat, kalian tau apa yang mereka lakukan? Tidak ada, bahkan setelah menunggu satu bulan penuh. Sejak itu kami tahu jika mereka tidak pernah menanggapinya dengan serius."

Ternyata tidak.

Mereka tetap keras kepala.

"Hey, mungkin kau tidak tahu, tapi mereka punya cara kerja masing-masing. Misalnya untuk kasus ini, mereka tidak akan langsung mengajukan proses investigasi, tapi menunggu. Menunggu yang kumaksud adalah dengan mengadakan razia. Saat menjaring para pengendara, mereka akan memeriksanya satu persatu, dan ketika berhasil menemukan kejanggalan seperti kurangnya kelengkapan surat-surat, barulah mereka akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." Ucapku panjang lebar disertai alasan yang sangat masuk akal. Penjelasan ini pasti akan membuat mereka kehabisan kata-kata.

"Itulah masalahnya, kau terlalu naif Lily,"

Eh? Apa yang mereka katakan?

"Banyak polisi malah mengambil jalan damai yang pastinya tidak akan merugikan dirinya sendiri maupun pengendara. Kau tahu prinsip uang tebusan 'kan? Banyak dari mereka melakukannya diam-diam."

Aku tidak bisa menghindar saat kalimat itu menusuk tepat di tengah-tengah keyakinanku.

"Setidaknya mereka jauh lebih baik daripada penjahat." Aku berhasil menyanggah kalimat mereka dengan sebuah fakta yang tidak bisa dibantah.

"Namun kenyataannya, penjahat tidak seburuk yang kau kira. Pernah dengar pepatah yang mengatakan, jika orang jahat terlahir dari orang baik yang dipaksa oleh kerasnya kehidupan. Misalnya, saat ia tidak punya uang untuk menghidupi keluarganya, kehidupan memaksanya untuk menjadi pencuri. Kita tidak boleh melihat mereka hanya dari satu sisi. Karena, manusia itu sendiri ... sebenarnya penuh dengan misteri." Salah satu temanku Kei, mengutarakan pendapatnya dari meja belakang. Hipotesis itu cukup masuk akal. Kepalaku tertunduk untuk merenungkan kata-katanya lebih dalam.

"Itu benar. Bukan berarti kami membela orang jahat, hanya saja ... kita tidak bisa melihat manusia hanya dari satu sisinya saja. Lily, aku tau polisi itu telah menyelamatkanmu, tapi kau tak  bisa mengabaikan segala kemungkinan yang bisa terjadi." Freya memperjelas pemikirannya. Aku hanya bisa mengangguk lemah sebagai balasan.

"Dan lagi, meninggalkan satu detail kecil bisa menyebabkan masalah yang begitu besar. Aku harap kau mengerti apa yang aku katakan, Lily." Kei tersenyum aneh, lebih aneh dari biasanya, aku tak punya pilihan selain membalas senyum itu.

***

Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa dengan terampil mempengaruhi egoku sedikit demi sedikit. Bahkan ketika aku memutar kembali kaset memori saat di sekolah tadi, hanya tawa menyebalkan mereka yang aku dengar.

Seraya berjalan pulang, aku tak hentinya memikirkan kejadian kemarin malam. Meski tidak sampai memicu trauma, tapi aku bersumpah tidak akan pernah lagi melewati jalan ini sendirian saat malam. Namun, ikrar ini juga punya pengecualian, yaitu saat aku berjalan dengan seorang teman. Hehe, tidak masalah jika berdua.

Melirik sebentar ke atas, warna jingga merayap di langit, sebagai bukti bahwa hari semakin sore. Pancaran sinarnya membuatku ingat akan menu makan malam, pasti sangat enak jika Ibu memasak kari ayam. Sesaat aku merasa lapar untuk sensasinya.

"Andai saja aku tidak mengalami nasib sial itu, aku pasti akan pulang tengah malam lagi hari ini."

Aku melanjutkan perjalanan dengan sekedar bersiul ria atau melantunkan nyanyian kecil, kebiasaan yang sulit aku lupakan. Tepat sebelum laguku usai, seorang pria yang cukup familiar muncul di tangkapan mataku. Aku berlari, berniat menyapa singkat dan bertanya untuk suatu hal.

"Permisi pak, masih ingat saya?" terkesan tidak sopan, tapi itulah aku.

"Kau gadis yang kemarin 'kan? Ah, maaf jika ini sedikit menyinggungmu."

"Ah, tidak apa-apa," aku tertawa kikuk, sejenak menghapus prasangka buruk yang ditanam oleh teman-temanku. Walau ia tampak cukup mencurigakan tadinya, mungkin saja karena akulah yang kurang terbiasa.

"Bagaimana dengan proses penyelidikannya? Apa kau sudah tahu siapa pelakunya?" bukan bermaksud buru-buru, hanya saja aku tidak akan tenang hingga kasus ini selesai.

"Maaf nona, kami belum bisa menangkap tersangka. Minimnya bukti dan personil, membuat prosesnya sedikit terhambat."

Aku kecewa, jauh dalam hati menyalahkan kinerja aparat yang tidak konsisten, jika terus begini aku akan hidup dalam kurungan sikap waspada, keadaan yang membuatku sesak terperangkap.

"Haaa ... sudahlah. Aku akan berdo'a demi kalian."

"Terima kasih nona," sekali lagi polisi itu tersenyum.

Hatiku tergerak untuk membalas senyumannya, dan tidak butuh waktu lama bagiku melakukan hal serupa. Barulah setelahnya, aku beranjak pergi meninggalkan petugas itu yang kini menoleh seraya melambaikan tangan sebagai isyarat selamat tinggal, alternatifnya mungkin adalah hati-hati di jalan.

Tapi tunggu!

Aku melihat wilayah saku celananya, yang meski sudah berusaha disembunyikan sebaik mungkin, masih terdapat celah jika diperhatikan dengan teliti. Otomatis aku merasa terpojok, menahan rasa panik melalui wajah setenang air.

Mataku membelalak dengan kedua pupilnya yang melebar. Ada getaran kecil yang menyeruak ke seluruh tubuhku untuk meninggalkan tempat itu dengan segera. Mungkin, teman-temanku ada benarnya. Aku sadar, ternyata hipotesis mereka saat itu benar-benar masuk akal. Persepsi yang awalnya berisi kepercayaan penuh kepada sang polisi terasa ditarik kuat oleh kenyataan yang ada. Napasku tercekat saat melirik ulang objek tersebut.

Bukankah itu ....

Lonceng merah yang tergantung di pisau sang pelaku.

***

Akuntansi

Akuntansi

Selasa, 13 Februari 2024

Enigma

Enigma



Anak itu sangat misterius.
Dan sebagai seorang sekretaris kelas, aku sangat tidak menyukainya. 

Dia itu aneh bahkan saat sudah lebih dari sebulan aku mengenalnya. Pendiam, selalu menyendiri dan tertutup. Di antara keramaian, dia tidaklah terganggu akan suara bising yang seharusnya menjadi penghalang baginya dalam kesendirian.

Bahkan setelah pulang, kami tidak pernah mendengar seutas kata sapaan atau apapun yang akan membuatnya terlihat sopan. Dia sangat tidak sopan. Kami membencinya. Namun tampaknya, dia sama sekali tak keberatan akan masalah itu.

Hingga suatu sore, saat aku pulang tanpa Alera, sahabatku, aku melihatnya berjalan di jalanan sunyi dan masuk ke dalam kegelapan. Dia sama sekali tak merasa ragu dan berjalan dengan mantap. Dengan penuh kesadaran, akupun mengikutinya.

"Miaw!"

"Ah!" Seekor kucing hitam menghadang di tengah jalan. Mata birunya berkilau di antara kegelapan. 

"Kucing hitam payah! Kau menakutiku!"

Selanjutnya, aku berhenti. Aku berpikir, mungkin urusan apapun yang gadis aneh itu lakukan, bukanlah sesuatu yang seharusnya benar-benar aku ketahui. Pilihanku sekarang hanyalah pergi dan mengintrogasinya di esok hari.

Saat malam tiba, aku termenung di antara tumpukan buku-buku pelajaran yang masih dingin, belum sempat kusentuh. Sukar rasanya untuk belajar, bahkan saat kutahu bahwa mungkin terjadi sesuatu pada gadis aneh itu. Namun, ini bukanlah rasa gundah setelah aku tidak mengabsennya tadi pagi. Lagipula, ini adalah kesepakatan kelas di mana ia akan dikeluarkan apabila absen tanpa keterangan. Dan mungkin, kami akan melakukan hal yang lebih buruk lagi sebab kami tidak ingin menyimpan dan berteman dengan seonggok parasit.

Aku memanglah anak teladan yang ditunjuk guru untuk menjadi sekretaris kelas. Dan alasan aku menyetujui perbuatan buruk ini adalah karena aku besar di lingkungan yang menganut sistem demikian. Ayah selalu mendidikku untuk menciptakan keseragaman di sekitar hidupku, hal yang berbeda hanyalah parasit. Mereka yang dianggap unik, juga hanyalah parasit yang berlindung dibalik kata prestasi.

"Haahh, lebih baik aku tidur, mengintrogasi dirinya hanya akan menghabiskan banyak tenaga."

"Evelyn, kau harus melakukannya." Lanjutku sebelum menutup semua cahaya dan menggantinya dengan banyak kegelapan.

Esok harinya, aku datang lebih awal. Mengawasi setiap sudut untuk mencari gadis itu.

"Violet, aku tahu kau ada di dalam, di antara rak buku sekalipun, keluarlah sekarang sebelum aku yang menangkapmu."

"Ya, ada apa?"

Dia datang seperti kabut. Aku tidak terlalu terkejut karena memang itulah kebiasaannya.

"Apa yang kau lakukan di gang sempit itu semalam? Dan kucing hitam yang sepertinya menjagamu, apa kau penyihir? Atau ... kau punya rahasia besar di sana?"

"Aku tidak melakukan semua yang kau katakan, Evelyn. Tapi, ada sesuatu yang seharusnya memang tidak kau ketahui. Sudah itu saja."

"Apa maksudmu? Cepat katakan padaku!" Aku mencengkram kerahnya. Dan dia mengikuti, dengan eskpresi yang setenang lautan.

"Tidak ada apapun. Dan kumohon jangan ganggu aku lagi."

Dia menepis tanganku. Terlalu keras, aku memberi pertahanan selayaknya seseorang yang terkejut atas kekuatan besar dari orang yang tak terduga.

"Ah! Sialan!"

Aku pergi, meninggalkannya dalam penuh rasa kekesalan di hatiku. Dia terlalu keras kepala. Meski aku memang tidak berniat membantunya, kurasa tidak ada salahnya untuk bercerita. Aku sekretaris kelas!

Kejadian tersebut membuatku tidak bicara dengannya selama beberapa hari. Sebaliknya, aku selalu menatapnya sinis selayaknya musuh, pembuliyan dengan intensitas yang semakin kami tujukan padanya. 

Bagiku, ini bukanlah kejahatan. Satu lagi yang ayahku ajarkan, kau hanya boleh berbuat baik kepada orang yang baik, dan kau boleh berbuat jahat kepada orang yang jahat. 

Dan karena nasihat itulah, aku tumbuh menjadi gadis kuat seperti sekarang.

"Gadis aneh tidak boleh pulang hari ini."

Aku mengunci pintunya. 

......

"Evelyn, kau melakukan hal besar hari ini. Yakin tidak masalah?" Alera bertanya.

"Ya! Lagipula dialah yang seharusnya disalahkan."

"Tapi, kurasa ... itu salah."

"Hmm?" Kami berhenti tepat di tikungan jalan.

"Kau tahu, sesuatu yang berbeda tidak seharusnya dibuang begitu saja. Kau, tidak boleh mengucilkannya apalagi membullynya, itu salah."

"Kau mulai mempertanyakan idealismeku?"

"Tidak! Kau salah paham, aku tidak bermaksud."

"Pergi dari sini."

"Tapi---"

"Pergi!"

Kini, aku sendirian. Alera pergi bersama ... entahlah apa yang dia rasakan, aku tak peduli.

"Keparat."

Aku melanjutkan perjalanan pulang. Sedikit rasa bersalah  hinggap sebentar, sebelum aku menepisnya. Aku tidak salah, karena aku melakukan apa yang ayahku ajarkan. Dan semua orang tahu, bahwa ayahku tak pernah salah.

....

"Apa yang kalian coba katakan? Rahasia? Tentang gadis aneh itu?"

Aku tiba di tempat ini. Sebuah ruang gelap yang kemarin gadis aneh itu kunjungi. Mencoba mencari tahu segala kemungkinan yang masih tersembunyi. Tanpa Alera, aku sendirian di sini, hingga beberapa pria datang dan menebak maksud juga tujuanku dengan sangat tepat. Cara yang unik untuk menarik lebih jauh rasa penasaranku.

"Ya gadis manis, tetapi sebelumnya kami punya syarat."

Aku tidak perlu menunjukkan jelas ekspresiku saat dalam kabut penasaran, tapi kurasa mereka mengerti.

"Hal itu ...." 

Cengkraman kuat di sekeliling tanganku. Mereka melakukannya secara tiba-tiba, ada apa?

"Kami akan melakukan hal yang menyenangkan."

Mereka secara acak membentuk lingkaran, mengerubungiku di tengah-tengah bulatan. Aku mengecil di antara tubuh-tubuh mereka yang besar. Sirine bahaya menyala di otakku. 

"Akh!"

Sebanyak apapun aku berusaha untuk melepaskan diri, mereka lebih dulu membangun benteng yang mustahil untuk kutembus. Senyumannya, senyuman menjijikkan terpampang di wajah jelek mereka.

"Lepaskan aku!" Aku berteriak, meronta dan hampir menangis. Mereka sungguh licik. Hingga tanpa sengaja, aku menjatuhkan setetes air mata.

"Maafkan aku ... Violet."

Di tengah keputusasaaan yang menggerogoti keberanianku secara perlahan. Aku tak menyangka bahwa aku akan mengatakan hal demikian. Aku hanya memikirkan Violet. Dan dengan adanya permintaan maaf itu, kurasa ... aku kalah.

Plang! 

Tubuh-tubuh besar itu melihat ke sumber suara, yang kemudian aku turut mengikutinya.

Di sana, seorang gadis dengan bayangan hitam gelap berdiri tegap. Lengan kirinya yang berbalut besi dipukulkan ke tiang listrik di samping. Bunyinya berdenting.

"Sudah kukatakan untuk tidak mengganggu teman-temanku. Apa kalian tuli?"

Dia mulai berlari, menargetkan salah satu kepala pria-pria itu dan memukulkan besi sekencang-kencangnya. Pria itu jatuh. Kepalanya mengukur darah segar dan bau amis pun menguar.

"Lari!"

Dalam sepersekian detik, tempat ini hanya diisi oleh keberadaan dua orang. Violet dan diriku sendiri, juga mungkin jasad yang tidak lagi bernyawa.

"Bagaimana jika kau membunuhnya? Tidakkah itu berbahaya?"

"Tidak apa, lagipula, dia buronan. Kita bisa katakan bahwa aksi ini hanyalah pembelaan diri. Dia ingin melakukan hal jahat kepadamu dan tidak mungkin dia akan dimaafkan."

Ini pertama kalinya dia bicara panjang lebar. Dengan tangan hangat yang mengulurkan bantuan, aku menyambutnya dan berdiri tertatih.

"Terima ... kasih. Aku akan mati jika kau tak datang"

"Sudahlah. Ngomong-ngomong apa kau yang mengunciku? Kunci cadanganmu tertinggal di meja. Aku membawanya agar kelas bisa dibuka besok pagi."

"Apa? Benarkah? Kupikir aku sudah ... ah! Maaf. Aku hanya ...."

"Ya, tidak apa-apa. Aku mengerti."

Aku memandangnya teduh. Apa benar dia sebaik ini? Bagaimana jika pria-pria tadi adalah .... Ah! Tidak mungkin.

"Maaf telah berburuk sangka kepadamu."

"Emm. Jangan pedulikan masalah itu. Apa kau terluka?" Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Syukurlah. Aku khawatir karena mereka adalah bajingan-bajingan kota. Aku selalu mengawasinya agar dia tidak menyerang murid-murid sekolah saat pulang. Dan tentang kucing hitam ... dia adalah temanku."

"Ah ya ... kurasa aku yang salah menganggap semua tingkahmu. Apa kau memaafkanku?"

"Tentu. Tapi sebelum itu, ayo keluar dari sini dan segera melapor ke polisi. Akan jadi masalah jika ambulans tidak segara dibawa ke sini."

"Kau benar."

Kami berjalan keluar dari gang. Dia mengambil tasku yang jelas lebih berat dari tasnya. Meninggalkan sebentar pria tadi, dan semoga dia tidak berubah menjadi mayat sebelum polisi datang dan mengamankannya.

Di antara sinar-sinar yang tidak mampu menembus dinding-dinding lembab dan basah, cahaya bergerak temaram saat kami semakin mendekati jalan raya, aku bisa merasakan rasa hangat dari genggaman tangannya. Ternyata ... dia jauh berbeda dari yang selama ini aku pikirkan.

"Apa aku benar-benar butuh waktu yang sangat lama untuk sekedar menyadarinya?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Violet memandangku aneh, kurasa itu reaksi yang wajar untuk sesuatu yang dia dengar tiba-tiba.

"Jangan dipikirkan."

"Kau mengerti?"

"Bukankah sudah sangat jelas? Dan ngomong-ngomong aku punya sedikit saran, mau dengar?"

Kami sampai di ujung gang, keramaian tampak lebih jelas di sekitar sini. Juga matahari yang sepertinya tidak punya banyak waktu lagi untuk tiba di garis horizon Bumi. Tapi tunggu, aku hampir lupa, sedikit saran katanya?

Aku bisa menerawang tatapan tajam di balik poninya yang panjang, melalui bola mata hitam yang terlihat semakin jelas saat tiba-tiba angin menerbangkan helaian rambutnya yang menjuntai di bagian depan. Dia tersenyum kecil, sangat kecil hingga samar-samar telihat seringaian misterius.

Semuanya baik-baik saja sebelum dia memulai kalimatnya. Sebuah fakta yang sangat tidak ingin aku dengar muncul begitu jelas dari mulutnya. Sebuah fakta yang seharusnya aku terima sejak lama. Tapi ilusi di mataku telah memakan kebenaran hingga aku tak lagi mampu untuk bangun dari asumsi menyenangkan yang aku buat di alam bawah sadar. Terima kasih karena bisa menarikku dari ilusi itu, Violeta.

"Kau adalah gadis yang egois. Orang-orang tidak akan menyukainya. Cobalah untuk menghargai sedikit perbedaan, karena menjadi 'sama' tidak selalu jadi lebih baik."